Pengendalian Hayati  

Posted by widyariska in

BAB I

Pendahuluan

    1. Latar Belakang

Prinsip-prinsip dan konsep dasar pengendalian hayati adalah sebagai salah satu taktik pengendalian hama berbasis biologi (biologically based tactics) yang sekaligus pula sebagai salah satu komponen di dalam strategi pengendalian hama terpadu (PHT). Pengendalian Hayati mencakup topik-topik pengendalian semua makhluk hidup yang dianggap sebagai hama dengan menggunakan berbagai jenis musuh alami dari berbagai tingkat organisasi makhluk hidup. Untuk tujuan pencapaian kompetensi tertentu, penekanan pembahasan terletak pada pengendalian hayati untuk mengelola hama, meskipun di dalamnya akan menyinggung pula pengendalian hayati terhadap gulma dan penyakit tanaman.

    1. Rumusan Masalah
  1. Apakah pengertian dari Pengendalian Hayati ?
  2. Apa sajakah Tujuan dan Pendekatan Pengendalian Hayati ?
  3. Bagaimanakah Hubungan Taksonomi dan Pengendalian Hayati ?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Pengendalian Hayati

Pengendalian hayati adalah taktik pengelolaan hama yang dilakukan secara sengaja dengan memanfaatkan atau memanipulasikan musuh alami untuk menurunkan atau mengendalikan populasi hama. Usaha pengendalian hama yang mengikutsertakan organisme hidup, oleh karena itu pengendalian hama dengan teknik jantan mandul, varietas tahan hama, dan manipulasi genetik termasuk dalam pengertian pengendalian hayati.

Pengendalian hayati pada dasarnya adalah usaha untuk memanfaatkan dan menggunakan musuh alami sebagai pengendali populasi hama yang merugikan.Pengendalian hayati sangat dilatarbelakangi oleh berbagai pengetahuan dasar ekologi, terutama teori tentang pengaturan populasi oleh pengendali alami dan keseimbangan ekosistem. Musuh alami dalam fungsinya sebagai pengendali hama bekerja secara tergantung kepadatan, sehingga keefektifannya ditentukan pula oleh kehidupan dan perkembangan hama yang bersangkutan. Ketersediaan lingkungan yang cocok bagi perkembangan musuh alami merupakan prasarat akan keberhasilan pengendalian hayati. Perbaikan teknologi introduksi, mass rearing dan pelepasan di lapangan akan mendukung dan meningkatkan fungsi musuh alami.

2.2 Tujuan dan Pendekatan Pengendalian Hayati

Ada tiga tujuan dari pengendalian hayati, yaitu reduksi, pencegahan, dan penundaan. Reduksi populasi hama dilakukan setelah hama mencapai tingkat yang menimbulkan masalah. Dengan reduksi, populasi hama diharapkan dapat berkurang ke tingkat yang cukup rendah sehingga hama tidak lagi menimbulkan masalah dalam jangka waktu yang lama. Pencegahan dalam pengendalian hayati dimaksudkan untuk menjaga populasi hama potensial agar tidak mencapai tingkat luka ekonomi (TLE). Pencegahan membutuhkan intervensi awal sebelum hama potensial berkembang mencapai atau melewati TLE. Pada penundaan, populasi hama dapat berkembang ke tingkat yang tinggi, tetapi terjadi ketika serangga tidak lagi dianggap sebagai hama karena berada di luar jendela waktu. Penundaan perkembangan hama membutuhkan intervensi awal sebelum populasi hama potensial mencapai atau melewati TLE.

Tiga pendekatan dalam pengendalian hayati adalah importasi atau yang disebut pula dengan sebutan pengendalian hayati klasik, augmentasi, dan konservasi. Pendekatan importasi melibatkan introduksi musuh alami (pemangsa, parasitoid, dan patogen) eksotik, dan umumnya digunakan untuk melawan hama eksotik pula. Pendekatannya didasarkan pada pemahaman bahwa makhluk hidup yang tidak disertai dengan musuh alami asli akan lebih bugar (fit) dan akan lebih melimpah dan lebih mampu bersaing daripada yang menjadi subjek pengendalian alami. Untuk mengendalikannya perlu dicarikan musuh alami yang efektif di tempat asalnya. Praktek augmentasi didasarkan pada pengetahuan atau asumsi bahwa pada beberapa situasi jumlah individu atau jenis musuh alami tidak cukup memadai untuk mengendalikan hama secara optimal. Oleh karena itu, untuk meningkatkan efektivitas pengendalian hama, jumlah musuh alami perlu ditambah melalui pelepasan secara periodik. Ada dua pendekatan augmentasi, yaitu inokulasi sejumlah kecil musuh alami dan inundasi (membanjiri) dengan jumlah yang besar, tergantung pada tujuannya. Pengendalian hayati konservasi pada dasarnya adalah melindungi, memelihara, dan meningkatkan efektivitas populasi musuh alami yang sudah ada di suatu habitat. Konservasi merupakan pendekatan paling penting jika kita ingin memelihara populasi musuh alami, baik asli maupun eksotik, di dalam ekosistem pertanian.

Manipulasi genetik telah memberikan harapan besar untuk meningkatkan keampuhan musuh alami. Manipulasi genetik musuh alami serangga dapat dilakukan untuk meningkatkan resistensi terhadap pestisida, meningkatkan toleransi terhadap iklim, meningkatkan kemampuan menemukan inang, mengubah preferensi inang, meningkatkan sinkronisasi dengan inang, meningkatkan fekunditas, dan mengin-duksi reproduksi thelytoky. Sampai saat ini, hanya seleksi buatan terhadap musuh alami saja yang berhasil dilakukan. Potensi heterosis dan teknologi rDNA masih belum dipraktekkan.


2.3 Hubungan Taksonomi dan Pengendalian Hayati

Taksonomi adalah komponen sistematik yang khusus mempelajari teori dan praktek klasifikasi. Ahli taksonomi melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan identifikasi, deskripsi, penamaan, dan klasifikasi makhluk hidup. Nama ilmiah jenis hama dan musuh alami harus dapat diidentifikasi dengan akurat sebelum program pengendalian hayati hama diterapkan. Nama ilmiah merupakan kunci untuk membuka jendela informasi seluas-luasnya mengenai makhluk hidup yang akan digunakan dalam pengendalian hayati. Klasifikasi makhluk hidup hanyalah bersifat sementara dan menjadi subjek terhadap perubahan, khususnya ketika ditemukan taksa dan karakter-karakter baru.

Karakter taksonomi didefinisikan sebagai atribut sebuah takson untuk membeda-kannya atau potensial membedakannya dari lainnya. Karakter tersebut digunakan untuk membangun klasikasi dan mengidentifikasi taksa. Karakter taksonomi dapat dikategorikan sebagai morfologi, fisiologi, molekuler, ekologi, reproduksi, dan perilaku. Tidak ada perbedaan nilai antara karakter morfologi dan biologi. Jika digunakan dengan tepat keduanya akan dapat mengekspresikan perbedaan genetik yang sangat bernilai dalam klasifikasi dan identifikasi. Hal yang paling ideal adalah membuat korelasi antara karakter biologi yang baru dengan satu atau lebih perbedaan morfologi yang ada untuk lebih melihat variasi di antara jenis-jenis yang ada. Karakter biologi lebih umum digunakan pada tingkat jenis. Sifat biologi yang dicari adalah yang spesifik untuk tujuan pemisahan atau identifikasi jenis. Karakter biologi yang paling sering digunakan untuk membedakan jenis serangga entomofagus kriptik adalah karakter ekologi, perilaku, dan reproduksi. Hubungan antara pengendalian hayati dan taksonomi bersifat timbal balik. Keduanya saling membutuhkan informasi yang diperoleh dari pekerjaan yang telah dilakukan oleh masing masing pihak.

2.4 Contoh Pengendalian Hayati

a. Pengendalian Hayati pada Gulma

Gulma didefinisikan sebagai tanaman yang berada di tempat yang salah atau tanaman yang tidak diinginkan keberadaanya di suatu tempat. Agen pengendali hayati gulma yang paling sering digunakan adalah serangga herbivora. Serangga herbivora dapat memakan berbagai bagian tanaman. Serangga mungkin pula merusak tanaman dengan melubangi batang atau akar ketika meletakkan telurnya. Serangga herbivora dapat pula mengendalikan gulma dengan jalan mentransmisikan penyakit (patogen) tanaman.Serangga herbivora yang digunakan sebagai agen pengendali hayati harus spesifik, sehingga hanya menekan populasi gulma tanpa berpengaruh buruk terhadap tanaman yang berguna. Organisme lain yang juga berpotensi sebagai agen pengendali hayati gulma adalah patogen (kapang dan bakteri) dan ikan herbivora. Keberhasilan penggunaan kapang karat diperlihatkan pada kasus pengendalian gulma kerangka di Australia Tenggara. Kecuali dengan menggunakan serangga dan kapang, pengendalian gulma air dapat pula dilakukan dengan memakai ikan koan (Ctenopharyngodon idella) triploid yang steril. Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman melibatkan penggunaan agen pengendali kapang dan bakteri untuk menyerang dan mengendalikan patogen tanaman serta penyakit yang ditimbulkannya. Mekanisme pengendalian hayati penyakit tanaman meliputi penggunaan mikroorganisme antagonis, pesaing, hiperparasit, perangsang mekanisme pertahanan alami inang, dan pemodifikasi lingkungan. Penerapan antagonis dapat dilakukan dengan cara memberikannya pada bagian-bagian tanaman yang luka karena pemangkasan, melapisi benih tanaman, bahkan dengan memasukkannya ke dalam malam (wax) yang dipakai dalam proses packing. Inokulasi tanaman inang dengan antagonis telah pula digunakan untuk melawan patogen umum.

Strategi Pengendalian Hayati Gulma

1. Pengendalian hayati gulma adalah suatu pilihan jika kita tidak harus menyingkirkan, membasmi, atau membunuh gulma secara cepat. Secara keseluruhan, penggunaan musuh alami untuk mengendalikan gulma akan lebih murah daripada herbisida. Program yang sukses akan menghasilkan biaya yang efisien, pengelolaan gulma yang berkelanjutan, dan tanpa atau hanya mempunyai pengaruh minimal terhadap tanaman bukan target dan lingkungan.

2. Pengendalian hayati gulma dapat dilakukan dengan melepaskan agen pengendali ke tempat-tempat tertentu. Setelah itu agen pengendali diharapkan akan menyebar sendiri. Pengendalian hayati gulma dengan cara ini merupakan sebuah pendekatan ekologis atau pendekatan klasik dan biasanya bekerja baik pada sistem yang relatif stabil.

3. Pengendalian hayati gulma dapat pula dilakukan dengan cara membanjiri populasi gulma target dengan agen pengendali. Pengendalian hayati dengan cara ini harus disertai dengan teknologi perbanyakan agen pengendali. Agen pengendali yang dipakai biasanya tidak bisa mapan dan karena itu harus diulang aplikasinya. Pengendalian hayati dengan cara ini pada dasarnya adalah suatu pendekatan teknologi.

4. Ada pula pengendalian hayati gulma dengan cara konservasi dan pengendalian berspektrum lebar. Kedua pendekatan ini masing-masing merupakan pendekatan yang bersifat ekologi dan teknologi.

5. Beberapa langkah dalam program pengendalian hayati gulma dengan pendekatan ekologi atau pengendalian hayati klasik adalah

a. identifikasi gulma target,

b. identifikasi agen pengendali dan penilaian tingkat kekhususan inang,

c. pelepasan terkendali,

d. pelepasan penuh dan identifikasi tempat pelepasan yang optimal,

e. pemantauan tempat pelepasan,

f. pendistribusian ke tempat lain, dan

g. pemeliharaan populasi agen pengendali.

6. Masa depan pengendalian hayati gulma sangatlah optomis. Di Indonesia, peluang yang tersedia untuk pengendalian hayati gulma relatif tidak terbatas. Mikroorganisme patogen tanaman menawarkan peluang yang luar biasa besar untuk pengendalian hayati gulma. Untuk gulma di bidang pertanian, perkebunan, atau tempat-tempat lain yang sering terganggu karena intervensi manusia, pengendalian hayati dengan menggunakan mikoherbisida sangatlah menjanjikan. Penggunaan fitotoksin adalah pendekatan lain yang dapat digunakan untuk mengendalikan gulma.

b. Pengendalian Hayati pada Anyelir

Fusarium oxysporum f sp. dianthi merupakan salah satu penyakit penting pada tanaman anyelir. Patogen penyebab layu ini mampu bertahan hidup di dalam tanah. Salah satu alternatif untuk memperkecil dampak lingkungan yaitu pengendalian secara hayati.Tujuan penelitian untuk mendapatkan agens hayati yang efektif mengendalikan penyakit layu F. oxysporum f sp dianthi yang ramah lingkungan.

Anyelir (Dianthus caryophyllus L.) atau carnation merupakan salah satu jenis bunga potong yang sangat populer di kalangan pecinta tanaman hias, mempunyai potensi pasar yang cerah tidak hanya terjadi di dalam negeri melainkan juga di kawasan regional maupun internasional (Budi Marwoto, 2002). Sebagai tanaman bunga potong, tanaman anyelir dibudidayakan oleh petani di dataran tinggi dengan altitude 900-1200 m di atas permukaan laut di lahan udara terbuka dan di dalam rumah kaca.

Tanaman anyelir sangat peka terhadap serangan penyakit (Smith, 1990). Salah satunya ialah layu yang disebabkan oleh jamur Fusarium oxysporum f sp. dianthi merupakan faktor pembatas utama dalam seluruh area produksi anyelir sehingga meninbulkan hasil tinggi ( Manulis et al, 1994). Patogen penyebab layu ini mampu bertahan hidup di dalam tanah.

Beberapa upaya pengendalian penyakit pada anyelir telah banyak dilaporkan. Penyebaran penyakit layu fusarium dapat dicegah dengan aplikasi benzidazol dan karbendazim (75 g/100 liter; 5,5 liter/m2) atau thiophanatemethyl (75 g/100 liter; 10 liter/m2 (Salinger, 1985). Untuk mengendalikan layu fusarium dilakukan dengan fumigasi tanah dengan metil bromida (800 kg/ha). Akan tetapi perlakuan fumigasi itu tidak mampu mengeradikasi patogen penyebab layu secara sempurna, terutama pada lapisan tanah yang agak dalam (Ben-yephet et al., 1996). Oleh karena itu perlu dicari cara-cara pengendalian alternatif yang sesuai dengan falsafah pengendalian penyakit tanaman yang mempertimbangkan aspek keamanan lingkungan.

Salah satu alternatif untuk memperkecil dampak lingkungan yaitu pengendalian secara hayati. Beberapa isolat maikroba antagonis, misalnya Pseudomonas fluorescens, Gliocladium sp., Trichoderma harzianum dan Bacillus sp. telah dapat digunakan untuk mengendalikan penyakit tanaman. Trichoderma sp. dan Gliocladium sp. mempunyai kemapuan menekan patogen tular tanah seperti Botrytis cinerea pada buncis (Papavizas, 1985), fusarium pada melon (Nurwardani, 1996) dan fusarium pada sedap malam (Nuryani dan Djatnika, 1999). Pseudomonas sp. strain WCS 417 r mampu mengiduksi resistensi dan mengakumulasi fitoaleksin tanaman anyelir dalam menanggulangi layu fusarium (Van Peer et al., 1991) dan P. fluorescens + air steril+ Mg So4 mampu menekan layu fusarium pada anyelir (Nuryani, et al., 2001). Laboratorium Biocontrol Balai Penelitian tanaman Hias segununung telah mengisolasi dan mengkoleksi beberapa mikroba antagonis diantaranya P. fluorescens, Gliocladium sp. Trichoderma harzianum dan Bacillus sp.. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan pengendalian peyakit yang efektif dan ramah lingkungan dengan eksploitasi agens hayati.

c. Pengendalian Hayati pada Kelapa Sawit

Pengendalian Hayati Ulat Api dengan Mikroorganisme Entomopatogenik

Pengendalian ulat api (Setothosea asigna) dengan menggunakan insektisida kimiawi merupakan cara yang umum dilakukan di perkebunan kelapa sawit. Namun dalam praktek, penggunaan insektisida tersebut justru menimbulkan kerugian yang besar berupa pencemaran lingkungan akibat residu insektisida serta munculnya resistensi dan resurgensi hama. Semakin meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, termasuk perlindungan terhadap musuh alami hama di dalam ekosistem kelapa sawit, telah mendorong para pengusaha perkebunan untuk menerapkan pengendalian hayati. Secara teknis, pengendalian hayati lebih unggul dibandingkan pengendalian secara kimiawi, karena selain efektif dan efisien juga ramah lingkungan. Pengendalian hayati ulat api pada kelapa sawit dapat menggunakan mikroorganisme entomopatogenik, yaitu virus β Nudaurelia, multiple nucleopolyhedrovirus (MNPV), dan jamur Cordyceps aff. militaris. Virus β Nudaurelia dan MNPV efektif untuk mengendalikan hama pada stadium

ulat, sedangkan jamur Cordyceps aff. militaris efektif untuk kepompong. Mikroorganisme entomopatogenik dapat mengurangi atau bahkan menggantikan insektisida kimia sintetis golongan piretroid, seperti Decis 2,5 DC dan Matador 25 EC dalam pengendalian ulat api di perkebunan kelapa sawit. Biaya pengendalian hayati juga lebih murah, yaitu hanya 7% dari biaya pengendalian secara kimiawi. Berdasarkan berbagai pertimbangan tersebut, penggunaan insektisida alami menjadi pilihan bagi para pengusaha kelapa sawit. Insektisida hayati mikroorganisme entomopatogenik kini telah banyak digunakan dalam mengendalikan ulat api, baik di perkebunan negara, swasta maupun rakyat.

Feromon untuk Pengendalian Kumbang Tanduk

Hama kumbang tanduk (Oryctes rhinoceros) umumnya menyerang tanaman kelapa sawit muda. Serangan hama ini dapat menurunkan produksi tandan buah segar (TBS) pada tahun pertama hingga 69% dan menimbulkan kematian pada tanaman muda hingga 25%. Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara pengutipan dan menggunakan insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Feromon dapat digunakan sebagai insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara konvensional. Feromon merupakan bahan yang mengantarkan serangga pada pasangan seksualnya, sekaligus mangsa, tanaman inang, dan tempat berkembang biaknya. Komponen utama feromon sintetis ini adalah etil- 4 metil oktanoat. Feromon tersebut dikemas dalam kantong plastik (sachet). Penggunaan feromon cukup murah karena biayanya hanya 20% dari biaya penggunaan insektisida dan pengutipan kumbang secara manual. Selain harganya murah (Rp75.000/sachet), cara aplikasinya di lapangan tidak banyak membutuhkan tenaga kerja. Penggunaan feromon di perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu alternatif yang sangat baik untuk mengendalikan kumbang tanduk. Feromon produksi Pusat Penelitian Kelapa Sawit ini telah banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan negara, swasta, dan rakyat.

Biofungisida Marfu-P Pengendali Jamur Ganoderma boninense

Penyakit busuk pangkal batang (BPB) pada tanaman kelapa sawit disebabkan oleh jamur Ganoderma boninense Pat., suatu jamur tanah hutan hujan tropik. Jamur G. Boninense bersifat saprofitik (dapat hidup pada sisa tanaman) dan akan berubah menjadi patogenik bila bertemu dengan akar tanaman kelapa sawit yang tumbuh di dekatnya. BPB dapat menyerang tanaman mulai dari bibit hingga tanaman tua, tetapi gejala penyakit biasanya baru terlihat setelah bibit ditanam di kebun. Busuk pangkal batang pada tanaman kelapa sawit dapat dikendalikan dengan menggunakan biofungisida Marfu-P. Hasil uji aplikasi Marfu-P menunjukkan bahwa 1 bulan setelah perlakuan masih dijumpai adanya Ganoderma dan Trichoderma pada potongan akar. Ganoderma pada akar kelapa sawit sudah melapuk setelah 3 bulan perlakuan Trichoderma.

Bahan aktif biofungisida Marfu-P adalah sporakonidia dan klamidospora jamur Trichoderma koningii (isolat MR 14). Harga biofungisida Marfu-P hanya Rp4.000/kg. Perkembangan BPB perlu dipantau setiap 6 bulan hingga tanaman berumur 5 tahun. Apabila dijumpai gejala BPB, maka tindakan pengobatan harus segera dilaksanakan. Jika pengobatan tidak memungkinkan, perlu dilakukan eradikasi. Selain efektif dan efisien mengendalikan BPB pada kelapa sawit, pengendalian dengan biofungisida juga bersifat ramah lingkungan. Biofungisida Marfu-P banyak digunakan oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit milik negara dan swasta.


DAFTAR PUSTAKA

Anonymous.pengendalian-hayati-dan patogentanaman.http://masstofa.wordpress.com (diakses 01 Oktober 2009)

Anonymous.pengendalian-hayati-penyakit-layu-fusarium-oxysporum-f-sp-dianthi-pada-anyelir/http://wuryan.wordpress.com (diakses 01 Oktober 2009)

Anonymous.Pengertian. http://mail.uns.ac.id (diakses 01 Oktober 2009)

This entry was posted on Sabtu, 02 Januari 2010 at 18.11 and is filed under . You can follow any responses to this entry through the comments feed .

0 komentar

Posting Komentar